Rabu, 06 Mei 2015

Perkembanga Suku Lom di Indonesia



Perkembangan Suku Lom
Latar belakang suku lom
Suku Lom merupakan suku yang tinggal di Dusun Air Abik, Dusun Tuing dan Dusun Pejam. Pada awalnya suku ini sering disebut juga suku Mapur karena sebagian besarnya dulu komunitas ini tinggal di Dusun Mapur. Kawasan Suku lom ini hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari kecamatan Belinyu dan masih termasuk dalam kelurahan desa Gunung Muda.
Suku lom dibangun dari keyakinan bahwa mereka dilahirkan dari alam semesta. Gunung, hutan, sungai, bumi, langit dan hewan merupakan bagian dari alam semesta yang menyatu dengan nenek moyang sehingga harus dihargai. Tetapi, suku ini cenderung menghindari budaya asing yang bertentangan dengan tradisi. Dikarenakan jika budaya dari luar masuk maka kebudayaan dan bahkan adat istiadat masyarakat akan semakin berkurang. Kehidupan masyarakat adat Air Abik memiliki kekhasan sendiri yang diharapkan terjaga dari generasi kegenerasi. Agar tatanan hidup dapat terjaga, maka salah satu yang harus dilindungi yaitu hutan KAT (Komunitas Adat Terpencil).
Kemurnian suku lom ini masih dibumbui berbagai mitos, misteri atau legenda yang menakutkan sehingga masyarakat yang ada diluar suku Lo mini enggan menyinggahi kawasan ini. Sebutan Lom pada suku tersebut merujuk komunitas yang “belum” memeluk suatu agama, sebutan itu mulai muncul sejak zaman kolonial Belanda yang berusaha mengidentifikasi penduduk berdasarkan agama yang dianut. Hingga sekarang, anggota suku yang masih memeluk adat disebut “Lom”, sedangkan yang telah memeluk agama formal tertentu berarti telah menjadi “bukan Lom”. Perbedaan penyebaran penduduk secara geografis menimbulkan perbedaan karakteristik masing-masing masyarakat, baik dari segi ekonomi, social, budaya dan lain-lain.
Masyarakat suku Lom ini dulunya sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi adanya Globalisasi masyarakat ini cenderung berpindah menjadi buruh Tambang dan bahkan sebagian wilayah hutan KAT (Komunitas Adat Terpencil) mereka digarap untuk lahan pertambangan. Bahkan adat istiadat yang dulunya masih kental seperti larangan- larangan, adat pernikahan dan acara nuju jerami sudah mengalami perubahan. Hal ini masyarakat suku Lom masih sedikit memegang teguh kepercayaannya terhadap nenek moyang mereka. Jadi, kepercayaan-kepercayaan yang dulunya hanya dikembangkan atau dilakukan sebagian saja. Rumah khas mereka adalah rumah pondok dan juga mereka memiliki tarian khas yaitu tari hudoq. Tradisi pesta panen atau tradisi Lom Plai dengan serangkaian ritual dilaksanakan oleh Suku Dayak Wehea di Kalimantan Timur. Tradisi unik yang terkadang terasa mistis menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan.Saat fajar mulai menyingsing, kesibukan mulai terlihat hampir di seluruh pelosok Desa Long Wehea, Kalimantan Timur. Deretan rumah-rumah panggung, seolah serentak bangun dari tidurnya untuk menyambut puncak ritual pesta panen (Lom Plai) yang telah ditunggu selama sebulan penuh. Semuanya pun larut dalam kesibukan berbalut suasana kegembiraan.Pesta panen (Lom Plai) tiba, para tamu dari berbagai kampung akan datang. Pertanda pesta puncak Lom Plai segera dimulai. Seluruh warga di setiap rumah seakan berlomba untuk menyambut tamu, kerabat, atau orang-orang yang sekadar datang untuk menyaksikan ritual puncak nan unik ini.Pada pagi hari, seluruh warga larut dalam kesibukan masing-masing. Para tamu dari luar kampung pun mulai berdatangan. Teriakan dalam bahasa Wehea mulai membahana, memanggil warga untuk berkumpul di beberapa tempat yang telah ditentukan.Beragam persiapan telah selesai dipersiapkan untuk menggelar ritual. Di tepi Sungai Wehea, tampak beberapa perahu telah ditepikan.Ritual pertama pun siap digelar. Prosesi pertama yang akan dilakukan sebelum acara puncak adalah Seksiang. Seksiang adalah sebuah ritual perang-perangan dalam tradisi masyarakat Wehea yang selalu dilaksanakan pada puncak pesta panen tersebut sekaligus sebagai perlambang kesatriaan pendahulu mereka dimasa lalu.Dengan berkelompok mereka menuruni titian dan jembatan panjang menuju tepian sungai tempat perahu ditambat. Para peserta upacara mengenakan pakaian tradisional yang dilengkapi dengan mandau atau sejenis parang dan perisai. Kemudian, satu persatu perserta ritual menaiki perahu untuk menuju ke hulu sungai.Perlahan dayung pun dikayuh. Puluhan perahu berlomba menuju hulu sungai yang berada di sebuah tanjung untuk mengambil batang-batang sejenis rumput gajah bernama weheang. Keriuhan akibat teriakan-teriakan khas suku Wehea menjadi pelengkap persiapan. Mereka berlomba untuk memenuhi seisi perahu dengan tombak Weheang. Bayang-bayang peperangan terbersit dalam rona muka para pemuda Wehea. Sebentar lagi, mereka akan mempertontonkan serta melanjutkan tradisi para pendahulu mereka.Semuanya telah siap melakukan perang! Mereka mengayuh perahu menuju bagian tengah sungai disertai teriakan-teriakan sekaligus mencari tantangan untuk memulai ritual. Semuanya berlomba untuk menunjukan siapa yang paling kuat di antara mereka. Sungai Wehea pun berubah menjadi medan perang. Puluhan tombak Weheang seolah beterbangan mencari sasaran.Para pengunjung pun seakan tidak ingin melewatkan momen tersebut. Mereka berjejer di tepi sungai dan jembatan kampung. Wisatawan dan masyarakat desa berbaur untuk menyaksikan para pemuda beradu ketangkasan dalam melempar tombak Weheang.Namun, dalam ritual ini tidak ada yang menang ataupun kalah. Semuanya berakhir dan merapat tepat di bagian hilir kampung. Raut muka lelah membungkus wajah para pemuda yang ikut berperang.Episode awal dari ritual puncak telah dilewati. Kini, saatnya untuk membersihkan diri melalui ritual lainnya, yaitu dalam ritual Peknai. Ritual ini diisi dengan acara siram-siaraman dan menggoreskan arang pada wajah semua warga termasuk pengunjung.Setelah semua ritual awal dilaksanakan, saatnya beristirahat. Tanpa perlu membersihkan wajah yang penuh dengan goresan arang hitam, mereka larut dalam kegembiraan bersama. Seluruh rumah menyediakan aneka makanan yang dapat disantap oleh siapa saja. Tidak ketinggalan, makanan khas yang menjadi menu wajib dalam semua ritual adat Wehea, yaitu pluq (lemang) dan sambal psooh tersaji dan menggugah selera setiap pengunjung.

Jelang sore, kampung semakin ramai, para pengunjung pun mulai berdatangan dan memenuhi tanah lapang tempat ritual Lom Plai dilaksanakan. Para tetua adat laki-laki dan perempuan dengan pakaian tradisional Wehea pun mulai memasuki lokasi ritual.Berjalan perlahan menuju sebuah telkeak yang didirikan sebagai tempat manaruh sesajen. Sesajen-sesajen yang tersebut akan dipersembahkan kepada para penguasa alam.Sementara itu, terdengar jelas paluhan gong dan tetabuhan tewung dari dua arah berlawanan menjadi pertanda Hudoq telah datang. Suara-suara khas Hudoq mulai terdengar, hentakan kaki beradu dengan bunyi-bunyian gong dan tewung.Kibasan pakaian khas Hudoq yang terbuat dari daun pisang serta beragam topeng Hudoq dan teriakan-teriakan khasnya menciptakan suasana yang berbeda sore ini. Kedua barisan penari akan bersatu dalam sebuah barisan panjang menuju telkeak dan berdiri di belakang para tetua adat perempuan yang duduk di atas tikar rotan.Sekaranglah saatnya untuk memanggil roh Hudoq yang dipercaya berasal dari dalam tanah, air dan khayangan. Suara nyanyian dari para perempuan adat membahana di seantero areal ritual.Mantra dan doa dalam bentuk nyanyian pun mulai dilafalkan. Bersamaan dengan itu, sesajen untuk para dewa telah disiapkan. Seekor anak ayam Sian, ditambah dengan telur ayam kampung serta lekok keptiaq, turut menjadi pelengkap yang dipersembahkan.Menggunakan sebilah pisau khas suku Dayak, seorang tetua adat mulai memotong leher anak ayam. Kemudian, darahnya dimasukan pada sebuah wadah untuk persembahan kepada para Hudoq. Secara berurutan, darah ayam dicerahkan pada seluruh penari Hudoq disertai taburan beras serta lekok keptiaq. Bersamaan dengan itu suara para penari Hudoq pun kembali membahana dalam ritual Lom Plai.Hentakan kaki serta suara-suara khas bergema dan perlahan membentuk sebuah formasi melingkar. Semuanya menyatu dalam gerak dan irama paluhan gong dan tetabuhan tewung.Suasana semakin meriah, saat Hudoq beraksi. Ribuan pasang mata seolah tidak ingin berkedip atau sekadar menonton momen tersebut. Para Hudoq benar-benar menjadi magis dalam ritual puncak. Gerak tari para penari Hudoq seakan membius siapa saja yang menyaksikannya tidak terkecuali para fotograger yang tidak ingin kehilangan momen sedetik pun.Saat sore mendekati senja, ritual diselesaikan. Perlahan, para penari Hudoq serta penari lainnya meninggalkan tempat ritual untuk kembali lagi bersama dalam ritual yang berbeda saat embos epaq plai. Ini pun menjadi pertanda berakhirnya rangkaian ritual panjang selama Pesata Lom Plai.

Mayoritas Kekerabatan Suku Lom
Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, menjelaskan, dari 139 keluarga yang tercatat, sebanyak 62 orang tertulis beragama Islam, 13 Kristen, dan dua orang Buddha. Sebanyak 62 orang lagi memeluk kepercayaan adat atau masih murni “Lom”. Namun, sebagian besar warga yang secara formal telah memeluk agama juga masih memercayai adat yang dipatuhi sejak nenek moyang.
Adat Istiadat Suku Lom
Menurut penuturan tetua adat setempat, Mang Sikat (62), adat suku Lom dibangun dari keyakinan bahwa mereka dilahirkan dari alam semesta. Gunung, hutan, sungai, bumi, langit, dan hewan merupakan bagian dari alam semesta yang menyatu dengan nenek moyang sehingga harus dihargai. Dalam setiap perwujudan alam terdapat roh atau kekuatan yang selalu menjaga dan mengawasi manusia. Kutukan akan menimpa siapa pun yang melanggar kekuatan alam.Keyakinan akan kutukan itu diperkuat oleh mantra-mantra yang digunakan untuk setiap tindakan yang dimuati tujuan khusus. Ada mantra untuk jirat, yaitu semacam doa untuk menjaga ladang dari pencurian. Ada mantra untuk menghipnotis orang agar mengakui kejahatan yang dilakukan. Juga ada semacam gendam untuk menarik minat lawan jenis sehingga jatuh cinta atau untuk menjaga kelanggengan pernikahan.
Berbagai mantra itu terutama dikuasai para dukun adat demi menjaga keamanan dari serangan luar, melestarikan tatanan sosial, sekaligus menempa kepercayaan diri setiap anggota suku. Meski digunakan dengan hati-hati untuk keperluan khusus, keampuhan mantra suku Lom acap jadi gunjingan khalayak luas sehingga masyarakat cenderung berhati-hati terhadap kekuatan magis suku itu.Keyakinan itu melahirkan adat unik yang sebagian masih ditaati suku Lom hingga kini. Mayat anggota suku yang meninggal, misalnya, tidak boleh diantar ke kubur melalui pintu depan karena dia pergi untuk selamanya dan tidak kembali lagi. Mayat dibawa lewat pintu belakang, atau bila perlu menjebol dinding samping.Adat lain, wanita hamil dilarang duduk di tangga rumah karena tangga menjadi perlintasan roh-roh. Roh-roh itu bisa masuk dalam kandungan sehingga menghambat proses kelahiran. Bersiul di ladang juga dihindari karena akan mengusir roh kehidupan yang memasuki tanaman yang baru tumbuh, akibatnya bisa gagal panen.
Sumber :